Kunjungan Tri Risma Harini bersama delegasi APEC ke Jambangan |
NJH – Jambangan.
Untuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia, hanya delegasi dari propinsi
Aceh yang belum pernah singgah ke Jambangan. Sementara untuk level
Internasional, disamping delegasi ASEAN, delegasi beberapa Negara Asia –
Pasific yang tergabung dalam APEC sampai dengan PBB atau lebih dikenal dengan
United Nation pernah singgah di Jambangan. Tak terhitung, sudah berapa orang
kader lingkungan (dari unsur masyarakat) hingga SKPD dari jajaran pemerintah
tingkat kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten hingga propinsi dan nasional
pernah belajar soal pengelolaan lingkungan hidup secara komunal di Jambangan,
tandas Pandji Laras sekretaris RW III kelurahan Jambangan.
Mengapa Jambangan sampai begitu “tenar” hingga organisasi
sekelas PBB mau jauh-jauh dari markas besarnya di New York “sambhang” ke “ndheso” Jambangan. Mari kita
mundur sejenak ke masa 70 atau 80 an. Saat itu Dam Gunung Sari atau lebih
dikenal sebagai rolag (pintu air dalam bahasa belanda, red) gunungsari sedang menjadi
mercusuar pembangunan “mega” insfrastruktur pendukung program swasembada pangan
Indonesia di era Soeharto. Pintu air yang kini dikelola Perum Jasa Tirta I,
wilayah Anak Sungai 3, diatur langsung oleh satelit pengoperasiannya. Ada empat
pintu besar yang sistem buka tutupnya berjalan otomotas sesuai indikator debet
air sebagai passwordnya. Aliran dari
dam gunungsari ini kemudian mengaliri sawah-sawah warga kecamatan Jambangan
yang tersebar luas di sisi timur wilayah kecamatan Jambangan.
Tersebut nama satu orang tokoh masyarakat yang bernama
Supriatun Djupri (alm.) beliau tinggal di kawasan RT 04/RW III kelurahan
Jambangan. Dengan tipikal “ndheso” yang sebagian besar penduduknya bertani,
masih tinggi solidaritas maupun gotong-royongnya, hingga mempertahankan budaya
adat setempat membuat kawasan Jambangan
sangat ideal sebagai tempat tinggal yang sejuk dan asri. Ketokohan bu Djupri
yang mengajak warganya memilah sampah, kemudian hasil pilahan sampah kering
tadi diolah menjadi “sesuatu” (baca
kerajinan tangan layak jual, red) inilah yang membuat Jambangan kemudian dikenal
luas. Seperti melegalkan status “ndheso” Jambangan di kancah Indonesia sebagai
kawasan sadar lingkungan hidup, pada tahun 2008 pemerintah pusat melalui
Kementerian Lingkungan Hidup menobatkan Supriatun Djupri (alm.) sebagai penerima
penghargaan Kalpataru tingkat Nasional dengan kategori perintis Lingkungan
Hidup. (B O N I)
0 comments:
Post a Comment