Thursday, December 5, 2019

Buah tangan dari Surabaya dengan cinta (IG. @bhoniesoerobojo)
Penang - Malaysia. Menyanyikan lagu populer Indonesia kekinian di kamar mandi adalah sebuah aksi rutin dan hal wajar bagi saya. Jadi istimewa manakala  harus menyanyikan lagu evergreen Indonesia berjudul "Widuri", di sebuah acara resmi kenegaraan Malaysia - Indonesia dihadapan para petinggi Kementerian Komunikasi dan Multimedia kerajaan Malaysia (27/10/2017). Kebetulan sound system di ballroom mewah hotel bintang empat Dorsett Putrajaya - Selangor, sangat mendukung dan membuat suara jadi terdengar lebih merdu, Hihihi.... Tepuk tangan menggema saat nada awal intro berhasil saya lewati tanpa fals dengan syair lagu yang didendangkan dengan apik oleh Broery Marantika pada era-nya. 

"Di suatu senja, di musim yang lalu.., ketika itu hujan rintik....".  

Benar kata Soekarno, Indonesia adalah negara besar yang kaya akan seni budaya-nya. Lagu Widuri menjadi alat efektif untuk mempererat hubungan persahabatan antar negara serumpun Malaysia - Indonesia. Karena kita tahu dalam sejarah dua negara pernah terjadi beragam peristiwa yang tidak semuanya menyenangkan. Konflik era Soekarno, yang menyebabkan konfrontasi dengan Malaysia (era 1962-1966), berlanjut dengan isu rebutan penguasaan blok Ambalat (2002) di era Presiden Megawati. Terlepas dari itu semua, keberadaan Kelompok Informasi Masyarakat Indonesia yang harmonis hubungannya dengan KIM Malaysia (K1M, sekarang bernama KHM), membawa nuansa menyejukkan bagi panasnya hubungan Malaysia - Republik Indonesia dewasa ini. Fungsi KIM sebagai duta budaya NKRI bisa direalisasikan dengan baik oleh para pegiatnya.

Pagi ini adalah hari terakhir kami berada di Kerajaan Malaysia. Sabtu 28 Oktober 2017 bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, kami secara resmi akan meninggalkan negeri Jiran. Sarapan terahir di tempat lahirnya Ipin-Upin saya puaskan dengan menikmati makanan khas Melayu, khususnya teh tarik hangat. Teh yang disajikan bercampur susu menemani pancake madu yang lebih dulu saya habiskan untuk mengganjal perut sebagai bekal balik ke Indonesia. Dorsett hotel tempat kami menginap, berada di Putrajaya (Daerah Khusus Ibukota Malaysia, semacam DKI Jaya di Indonesia). Tercatat sejak 19 Oktober 1995 pusat pemerintahan Malaysia dipindahkan. Yang awalnya berada di Kuala Lumpur kemudian mereka "boyongan" ke Putrajaya (dulu masuk wilayah Negeri Selangor, baca Propinsi Selangor). Di areal yang lebih besar 1,1 km persegi luasnya jika dibandingkan dengan kota Jakarta Pusat (47,9 km persegi), Putrajaya memiliki luas 49 km persegi. Penamaan area baru pusat pemerintahan Malaysia ini, diambilkan dari nama Sultan Pertama mereka. Yaitu, Tengku Abdul Rahman Putra. Putra diartikan Pangeran, kata Jaya ditambahkan untuk nenampilkan makna kemenangan atau kejayaan. Jadi pendirian Putrajaya bermakna sebagai Kejayaan Kerajaan Malaysia. Mimpi mereka kala itu adalah menjadikan Malaysia sebagai salah satu Ibukota Negara Asia Tenggara yang berkelas. Serta layak bersanding dengan kota-kota besar negara maju lainnya didunia. Awalnya pada akhir 1980, ide visioner Mahathir Mohammad yang saat itu menjadi PM Malaysia keempat. Sempat dihujat dan dicemooh banyak kalangan di negaranya. Tapi Mahathir dengan teguh hati menyampaikan bahwa suatu hari kalian semua warga Malaysia akan berterima kasih kepadaku, karena apa yang tampak olehku belum tentu tampak oleh kalian. Hal itu kini terbukti, Putrajaya menjadi kota yang elegan dengan berbagai fasilitas modern dan bersanding layak dengan kota-kota milik negara maju di dunia.

Lobi Dorsett hotel, penginapan bintang empat yang berharga 800 ribu semalam, menjadi saksi perpisahan kami dengan kawan-kawan dari Jawatan Penerangan yang kini berubah menjadi Kementerian Komunikasi & Audio Visual Kerajaan Malaysia. LO (laison officer) kami yang ke-empatnya adalah wanita saling berciuman pipi dengan tiga wanita anggota delegasi Jawa Timur. Delegasi Jawa Timur terdiri dari Ambar S. - Kabid. IKP Diskominfo Jatim, Endang L. - Ketua KIM Melati, Sidoarjo. Rizki Rahmadianti - Ketua KIM Swaraguna. Peluk cium tidak berlaku buat satu anggota delegasi Pria, yaitu Bobbin Nila Prasanta Yudha dari KIM Jambangan Hijau, yang juga merangkap Ketua Forum KIM Kota Surabaya. Bukan muhrimnya, demikian kata para wanita muda Melayu yang mengawal lawatan kami selama di Malaysia. Mata mereka berkaca-kaca saat saling berpamitan dan berkata "mohon maaf jika selama 6 hari berkolaborasi di Malaysia ada yang kurang berkenan". Setelah saling berpamitan Bobbin sendiri menyempatkan diri memberikan buah tangan, kerajinan tangan produk rajutan tas kresek bekas karya anggota KIM Pokak - Kebonsari berupa tas, dompet dan topi. Dua dari LO Malaysia Zatul dan Rizya kemudian memakainya untuk foto bersama.Setelah dirasa cukup, kami segera bergegas menuju kedalam bis yang sudah siap diparkir diluar lobi hotel. Sepuluh menit dari saat waktu pamitan berlangsung di Putrajaya, kami kemudian meluncur ke wilayah Sepang, tempat KLIA (Kuala Lumpur Internasional Airport) berada. Kalau saat berangkat dari Jakarta pada tanggal 23 Oktober kami menumpang Air Asia, maka saat pulang perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Jakarta kami tempuh dengan maskapai kebanggaan bangsa, Garuda Indonesia Airways yang menggunakan armada Boeing 737 - 800. Cik Hameed Tour Guide kami hari itu merangkap sebagai sopir bis, karena Rahmat sopir sebelumnya dapat berita duka Ibundanya meninggal dunia. Sebelum turun bus kami berenam, ditambah dua orang staf Kementerian Kominfo RI yaitu Suhardi W. (Kasubdit IKP) dan Hendra H. staf bidang Layanan dan Kerjasama Internasional, saling menyumbang sedikit uang ringgit kami yang tersisa sebagai tips bagi Cik Hameed. Selamat Tinggal Malaysia.. Kami akan kembali suatu hari nanti.. Aamiin.. (Boni)










0 comments:

Post a Comment